Jumat, 13 April 2012

Carok: Hak, Harga Diri dan Wanita


Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M.Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).Pada zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera.

Demikian itu kemudian dijadikan sebagai sebuah filosofi bagi masyarakat Madura yang dalam kancah dunia saat ini
dikenal sebagai masyarakat yang temperamental.lambang sakera sebagai sebuah keperkasaan laki laki Madura yang kemudian dijadikan sebagai pegangan hidup dan mengakar kuat bagi masyarakat Madura. namun lebih jauh dari itu, keberadaan masyarakat Madura yang dikenal keras juga mempunyai eksistensi social kualitatif jika dibandingkan dengan masyrakat lain yang ada diluar Madura, hal itu dapat dilihat dari kentalnya tradisi Madura yang mengakar kuat sampai saat ini, harga diri masyarakat Madura merupakan segalanya dan tidak dapat ditukar dengan apapun.
Tiang penyangga kuatnya tradisi Madura tak lepas dari prinsip “ Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “ maksudnya lebih baik mati daripada menanggung malu. Ungkapan ini berlaku demi untuk mempertahankan martabat, hak dan harga diri sebagai orang Madura. Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas dari permasalahan lingkungan dan wanita.
Dan tentang wanita sendiri, bagi laki-laki Madura mendapat tempat tertinggi, karena dari wanitalah kaum pria di Madura menjadi lebih bersemangat, dan dari kaum wanita pula dapat menimbulkan pembunuhan. Karena tingginya kedudukan wanita Madura, maka kaum wanita khususnya para gadis dikonotasikan dengan perlambang melati. Maka tak heran falsafah melati menjadi pujian bagi orang-orang tua Madura dengan ucapan “duh tang malate”, ta’ gegger polana ojen, ban ta’ elop polana panas are”, artinya; oh melatiku, yang tak gugur karena hujan dan tak layu karena panas matahari.
Jadi kalaupun dalam suatu peristiwa carok lantaran wanita hal itu telah merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan linkungan yang dijajah atau diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan persoalan rebutan warisan tanah, karena tanah bagi masyarakat Madura sebagai alat untuk mengikis rizki untuk kelangsungan hidup. Dengan demikian tidak jarang banyak perselisihan yang terjadi karena rebutan tanah, seperti halnya yang terjadi pada peristiwa carok masal didesa bujur tengah pada tahun 2006 yang silam.
Tapi dalam kondisi yang lain, peranan wanita Madura dibandingkan dengan kaum pria belum seluas sebagaimana peran-peran yang dilakukan wanita-wanita kota besar, meskipun pada dasarnya wanita Madura telah mengenal persamaan hak dan kewajiban dengan suami. Atau dengan kata lain bisa disebut semacam emansipasi pembawaan naluri. Seorang istri mampunyai peran dan tanggung jawab yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Mereka bersama-sama turun ke ladang membanting tulang dan memeras keringat hingga “ agili pello koneng “ (mengalir keringat kuning), maksudnya bekerja keras sampai tuntas. Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga dimana saja sang suami membanting tulang.
Namun demikian satu kelebihan wanita Madura, tugas-tugas yang lain, baik sebagai ibu dari anak-anaknya maupun sebagai pendamping suami dari menyiapkan makan dan minum maupun tetek bengek lainnya, sang istri akan selalu setia melayani. Tetapi didalam persamaan hak tersebut, wanita Madura menurut tradisi harus selalu hidup dibawah kekuasaan pria (suami). Artinya wanita Madura harus tunduk, patuh, taat dan menyerah pada kemauan suami dan tidak dibenarkan untuk menolak maupun membantah. Bahkan untuk menentukan perkawinan diteruskan atau diputuskan. Dan apabila suami tidak mampu memberikan keturunan, biasanya sang suami mengambil inisiatif untuk menalak atau kawin lagi dengan alasan demi meneruskan keturunan.
Pada prinsipnya, suami Madura biasanya bersikap keras dan tegas dalam membela kehormatan dan kesudian istrinya. Dan umumnya pangkal utama timbulnya perselisihan dari kaum wanita. Sehingga tak heran timbulnya carok, kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran kesemburuan yang tidak jelas, demikian itu  terjadi karena biasanya pelaku dari carok adalah mereka yang memang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, sehingga dalam segala persoalan yang sebenarnya tidak harus diselesaikan dengan kekerasan harus berujuang dengan hilangnya nyawa, hal itulah yang kemudian disebut  sebagai harga diri.
Ironisnya, pada gilirannya masyarakat luar Madura memandang Madura sebagai wujud berindentik kekerasan dan carok. Padahal bila ditelusuri lebih jauh, justru di Madura banyak terkandung nilai-nilai luhur. Baik dari segi social budaya, social masyarakat maupun social ekonomi. Dengan demikian, prospek masyarakat Madura bak mutiara dalam bukit tanah kapur. Kultur social masyarakat Madura yang  tidak bisa ditemukan diluar Madura seharusnya bisa dijadikan sebagai pedoman hidup untuk lebih membawa nama MADURA lebih berharga dari sekedar carok, yang justru merusak reputasi masyarakat Madura.
Refrensi; berbagai sumber
Oleh: khairul kalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar